MAKALAH
PEMIKIRAN
TEOLOGI MU’TAZILAH
Disusun
Oleh :
Siti
Musriah : 102071000009
Habibatus
Sa’diyah : 102071000019
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SIDOARJO
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Pemikiran
Teologi Mu’tazilah”. Makalah ini berisikan tentang pemikiran-pemikiran
Mu’tazilah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Sidoarjo,
27 April 2012
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................
Daftar
isi.............................................................................................................................
PENDAHULAN................................................................................................................
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................
C. Tujuan ...................................................................................................................
PEMBAHASAN................................................................................................................
A. Pengertian dan Asal Usul Mu’tazilah..................................................................
B. Prinsip-prinsip Mu’tazilah....................................................................................
PENUTUP.........................................................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu
kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan
berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak
mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga
banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini.
Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah
diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu
munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga
melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak
benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang
sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena
itu pemakalah akan sedikit membahas tentang Pemikiran Teologi Mu’tazilah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Mu’tazilah dan Bagaimana Asal Usulnya?
2. Apa
Saja Prinsip-prinsip Aliran Mu’tazilah?
C.
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian Mu’tazilah dan Asal Usulnya.
2. Untuk
Mengatahui Prinsip-prinsip Aliran Mu’tazilah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Asal usul Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah lahir pada masa
pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan
dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya
berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka adalah pengikut
dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama
Hasan Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak zaman
sahabat, mereka adalah golongan pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik
terutama disaat turunnya Hasan bin Ali dari kursi kholifah. Kelompok ini kemudian
memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian
pendapat yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah Mu’tazilah
sebab mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara
filsafati.
Masalah pertama yang menjadikan mereka
berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan
kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat
seorang bernama Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya bernama Hasan.
Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan
maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.
Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa
pada suatu waktu datang menanyakan suatu soal yang memerlukan jawaban dari sang
guru. Pertanyaan itu ialah bila seorang beriman meninggal dunia sedangkan ia
pernah melakukan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah
diakhirat nanti? Apakah didalam surga karena ia seorang yang beriman atau
dineraka karena ia melakukan satu dosa yang besar?
Sang murid mendengar soal ini bangkit
semangatnya untuk menjawab. Secara spontan ia mengatakan manusia yang demikian
bukan ditempatkan di surga atau neraka, tetapi ia ditempatkan diantara kedua
tempat ini. Yakni disuatu tempat ditengah-tengah antara surga dan neraka.
Pendapatnya ini berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena
pendapat ini ia pun mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk
mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari
golongan sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan
“mu’tazili” dan alirannya dinamakan mu’tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil kemudian
memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata “I’tazala
‘annawashil, artinya Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum
Mu’tazilah sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu
berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan
antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang ditamakan adalah ketetapan
akal.
Panggilan atau nama yang mereka pilih
itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia
untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak
terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan
pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak
dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[1]
Menurut A.hanafi aliran Mu’tazilah
adalah aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua, serta telah memainkan
peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini
mempunyai dua cabang yaitu:
1. Di
Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.
2. Di
Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.
Banyak kholifah yang menganut faham
Mu’tazilah ini atau setidak-tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :
1. Yazid
bin Wahid Bani Umayah
2. Ma’mun
bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3. Al
Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
4. Al
Watsiq bin Al Mu’tashim
Mereka amat senang berdebat di muka
umum. Menurut Sirajuddin Abbas hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh
perdebatan-perdebatan dari mereka ini, tujuan mereka adalah mengalahkan kaum
Ahlussunnah. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain ialah :
1. Sifat-sifat
Tuhan ada atau tidak
2. Buruk
dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’
3. Pembuat
dosa besar kekal dalam neraka atau tidak
4. Qur’an
itu makhluk atau tidak
5. Perbuatan
manusia di buat manusia atau tuhan
6. Tuhan
itu dapat dilihat di akherat atau tidak
7. Qur’an
itu dapat ditiru manusia atau tidak
8. Alam
ini qadim atau baru
9. Syurga
dan neraka itu kekal atau tidak
10. Arwah
itu pindah-pindah atau tidak
11. Tuhan
itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
12. Mi’raj
itu dengan tubuh atau tidak
13. Dan
lain-lain[2]
B.
PRINSIP-PRINSIP
ALIRAN MU’TAZIAH
1.
Tauhid
(Keesaan Tuhan)
At-Tauhid (kemahaesaan tuhan) merupakan
ajaran dasar terpenting bagi kaum Mu’tazilah. Bagi mereka, Tuhan dikatakan Maha
Esa jika ia merupakan zat yang unik, tiada sesuatu yang serupa dengan dia. Oleh
karena itu, mu’tazilah menolak paham anthropomorphisme/al-tajassubertanganm,
yaitu paham yang menggambarkan tuhan menyerupai makhluk-Nya. Misalnya,
tuhan bertangan dan sebagainya. Untuk menghindari paham ini, mu’tazilah
melakukan interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat al-quran yang zhanny: yad
allah (tangan allah), berarti kekuasaan allah, wajh allah (wajah allah),
berarti keridhaannya, dan sebagainya.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang
membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat
yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional
cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah mereka
tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan
sebagainya.[3]
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa
tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat
tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim.
Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena
tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi , yang immateri hanya dapat diterima oleh yang
immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan tuhan memang dapat
dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat
bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah
untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah
dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha
mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini
bermaksud untuk memurnikan dzat tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam
paham ini tampak betapa kuat pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum
mu’tazilah itu dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak
memandang sebutan kaum rasional.
2.
Al-Adl
(Keadilan Tuhan)
Al-adl merupakan kelanjutan dari ajaran
at-tauhid. Jika ajaran pertama mu’tazilah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan
dengan makhluk-Nya, ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan Tuhan dari
perbuatan makhluk. Hanya tuhan yang berbuat seadil-adilnya. Tuhan tidak mungkin
berbuat dholim.
Paham keadilan yang dikehendaki
Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
menciptakan perbuatan manusia, manusia dapat mengerjakan perintah-perintahnya
dan meninggalkan ajaran-ajaran-Nya dengan kekuasaan yang ditetapkan Tuhan pada
diri manusia itu.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik.
Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu
sekte mu’tazilah, Tuhan tidak bias berbuat buruk karena perbuatan yang demikian
hanya dilakukan oleh orang yang tidak sempurna sedangkan Tuhan Maha Sempurna.
Selanjutnya, masalah keadilan Tuhan ini
mendorong timbulnya masalah perbuatan manusia apakah perbuatan manusia itu
diwujudkan oleh Tuhan atau oleh manusia sendiri?. Dalam pandangan mu’tazilah
yang menganut paham qadariyah, perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia
sendiri. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas
kemauannya sendiri.
3.
Al-Wa’du
wal wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah
yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan siksa kepada manusia di
akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pahala, sedangkan orang
yang melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan
tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya.
Sebagai
realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan bagi
orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang
berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak member pahala kepada
orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk.
Mu’tazilah mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan
dengan prinsip janji dan ancaman.
4.
Manzilah
bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
Ajaran keempat yang disebut posisi
tengah menurut Mu’tazilah maksudnya tempat diantara surge dan neraka.ajaran ini
dinilai sangat penting. Dengan ajaran ini, Washil rela memisahkan diri dari
gurungya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan
tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara iamn dan kafir.
Prinsip jalan tengah yang dipegag
Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an dan Hadits. Ayat al-qur’an yang dimaksud
surat al-isra’ ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik
perkara adalah yang tengah-tengah.
5.
Amar
Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip
tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya. Perbadaanya hanya pada
pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu
dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu’tazilah berpendapat bahwa amar
ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut, walaupun
sewaktu-waktu jika diperlukan bias dengan kekerasan. Bagi kaum Mu’tazialh,
orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus
diluruskan.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat
dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada
empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1. Mengenai
tentang mengetahui Tuhan.
2. Kewajiban
mengetahui Tuhan.
3. Mengetahui
baik dan jahat.
4. Kewajiban
mengatahui baik dan jahat.[4]
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni
‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Aliran
mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa
pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Meraka adalah pengikut
dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama
Hasan Basri.
Washil memisahkan diri dari guruya yakni
Hasan Basri karena berbeda pendapat mengenai orang beriman yang melakukan dosa
besar. Menurut Washil orang tersebut tidak mukmin dan juga tidak kafir,
melainkan fasik. Mereka akan ditempatkan diantara surga dan neraka.
Ada lima prinsip yang dipegang oleh
Mu’tazilah, yakni
1. Tauhid
2. Keadilan
Tuhan
3. Al-Wa’du
wal wa’id (Janji dan Ancaman)
4. Manzilah
bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
5. Amar
Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
DAFTAR
PUSTAKA
Avdich,
Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam.
Bandung : Al-Maarif
Sudarsono.
2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Supiana
dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan
Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Zaini,
Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam.
Surabaya : Al-Ikhlas
[1] Sudarsono.
Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT
Rineka Cipta. Hal 5-6
[2]
Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah
Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
[3]
Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam.
1987. Hal 163
[4]
Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004.
Hal 181-185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar