Kamis, 14 Juni 2012

Hukum Bayi Tabung


Bayi tabung

Bayi tabung adalah rekayasa sains modern terhadap proses pembuahan janin. Apabila hal itu menyebabkan kekacauan nasab, tentu hal itu haram. Akan tetapi, jika hal itu berlangsung tanpa mengakibatkan kekacauan nasab, maka hal itu diperbolehkan karena semata-mata memanfaatkan ilmu pengetahuan.

Ibrahim Muhammad al-jamal. Tanya jawab fiqih wanita.2002. Jakarta. Serambi.

Tebak-Tebakan

1. Tax: Loli apa yang muaniiiiss....
Jwb: Loliat aja aq....

Makalah Pemikiran Teologi Mu'tazilah


MAKALAH
PEMIKIRAN TEOLOGI MU’TAZILAH



Disusun Oleh :
Siti Musriah                 : 102071000009
Habibatus Sa’diyah     : 102071000019


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Pemikiran Teologi Mu’tazilah”. Makalah ini berisikan tentang pemikiran-pemikiran Mu’tazilah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

                                                                                                          Sidoarjo,
                                                                                                                              27 April 2012













DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................            
Daftar isi.............................................................................................................................  
PENDAHULAN................................................................................................................  
A.    Latar Belakang Masalah.......................................................................................  
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................  
C.    Tujuan ...................................................................................................................  
PEMBAHASAN................................................................................................................  
A.    Pengertian dan Asal Usul Mu’tazilah..................................................................  
B.     Prinsip-prinsip Mu’tazilah....................................................................................  
PENUTUP.........................................................................................................................  
A.    Kesimpulan............................................................................................................














BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena itu pemakalah akan sedikit membahas tentang Pemikiran Teologi Mu’tazilah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Mu’tazilah dan Bagaimana Asal Usulnya?
2.      Apa Saja Prinsip-prinsip Aliran Mu’tazilah?

C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Mu’tazilah dan Asal Usulnya.
2.      Untuk Mengatahui Prinsip-prinsip Aliran Mu’tazilah.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Asal usul Aliran Mu’tazilah

Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak zaman sahabat, mereka adalah golongan pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan bin Ali dari kursi kholifah. Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah Mu’tazilah sebab mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.

Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat seorang bernama Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.

Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu datang menanyakan suatu soal yang memerlukan jawaban dari sang guru. Pertanyaan itu ialah bila seorang beriman meninggal dunia sedangkan ia pernah melakukan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah diakhirat nanti? Apakah didalam surga karena ia seorang yang beriman atau dineraka karena ia melakukan satu dosa yang besar?

Sang murid mendengar soal ini bangkit semangatnya untuk menjawab. Secara spontan ia mengatakan manusia yang demikian bukan ditempatkan di surga atau neraka, tetapi ia ditempatkan diantara kedua tempat ini. Yakni disuatu tempat ditengah-tengah antara surga dan neraka. Pendapatnya ini berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena pendapat ini ia pun mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dan alirannya dinamakan mu’tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata “I’tazala ‘annawashil, artinya Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum Mu’tazilah sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang ditamakan adalah ketetapan akal.

Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[1]

Menurut A.hanafi aliran Mu’tazilah adalah aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua, serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:
1.      Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.
2.      Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.
Banyak kholifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :
1.      Yazid bin Wahid Bani Umayah
2.      Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3.      Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
4.      Al Watsiq bin Al Mu’tashim
Mereka amat senang berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari mereka ini, tujuan mereka adalah mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain ialah :
1.      Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak
2.      Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’
3.      Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak
4.      Qur’an itu makhluk atau tidak
5.      Perbuatan manusia di buat manusia atau tuhan
6.      Tuhan itu dapat dilihat di akherat atau tidak
7.      Qur’an itu dapat ditiru manusia atau tidak
8.      Alam ini qadim atau baru
9.      Syurga dan neraka itu kekal atau tidak
10.  Arwah itu pindah-pindah atau tidak
11.  Tuhan itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
12.  Mi’raj itu dengan tubuh atau tidak
13.  Dan lain-lain[2]

B.     PRINSIP-PRINSIP ALIRAN MU’TAZIAH

1.      Tauhid (Keesaan Tuhan)

At-Tauhid (kemahaesaan tuhan) merupakan ajaran dasar terpenting bagi kaum Mu’tazilah. Bagi mereka, Tuhan dikatakan Maha Esa jika ia merupakan zat yang unik, tiada sesuatu yang serupa dengan dia. Oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham anthropomorphisme/al-tajassubertanganm, yaitu paham yang menggambarkan tuhan menyerupai makhluk-Nya. Misalnya, tuhan bertangan dan sebagainya. Untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat al-quran yang zhanny: yad allah (tangan allah), berarti kekuasaan allah, wajh allah (wajah allah), berarti keridhaannya, dan sebagainya.

Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.[3]

Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi  , yang immateri hanya dapat diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan tuhan memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.

Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.

Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum rasional.

2.      Al-Adl (Keadilan Tuhan)

Al-adl merupakan kelanjutan dari ajaran at-tauhid. Jika ajaran pertama mu’tazilah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan dengan makhluk-Nya, ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan Tuhan dari perbuatan makhluk. Hanya tuhan yang berbuat seadil-adilnya. Tuhan tidak mungkin berbuat dholim.

Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia dapat mengerjakan perintah-perintahnya dan meninggalkan ajaran-ajaran-Nya dengan kekuasaan yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu.

Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu sekte mu’tazilah, Tuhan tidak bias berbuat buruk karena perbuatan yang demikian hanya dilakukan oleh orang yang tidak sempurna sedangkan Tuhan Maha Sempurna.

Selanjutnya, masalah keadilan Tuhan ini mendorong timbulnya masalah perbuatan manusia apakah perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan atau oleh manusia sendiri?. Dalam pandangan mu’tazilah yang menganut paham qadariyah, perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.  
3.      Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan siksa kepada manusia di akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pahala, sedangkan orang yang melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya.
Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak member pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan prinsip janji dan ancaman.
4.      Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)

Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu’tazilah maksudnya tempat diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat penting. Dengan ajaran ini, Washil rela memisahkan diri dari gurungya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara iamn dan kafir.

Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an dan Hadits. Ayat al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.

5.      Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya. Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu’tazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bias dengan kekerasan. Bagi kaum Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus diluruskan.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1.      Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
2.      Kewajiban mengetahui Tuhan.
3.      Mengetahui baik dan jahat.
4.      Kewajiban mengatahui baik dan jahat.[4]








PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Meraka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri.
Washil memisahkan diri dari guruya yakni Hasan Basri karena berbeda pendapat mengenai orang beriman yang melakukan dosa besar. Menurut Washil orang tersebut tidak mukmin dan juga tidak kafir, melainkan fasik. Mereka akan ditempatkan diantara surga dan neraka.
Ada lima prinsip yang dipegang oleh Mu’tazilah, yakni
1.      Tauhid
2.      Keadilan Tuhan
3.      Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
4.      Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
5.      Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)



















DAFTAR PUSTAKA

Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas


[1] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
[2] Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
[3] Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
[4] Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185